Oleh: Fahrul Abd Muid
(Penulis adalah Sekretaris ICMI Kota Ternate-Maluku Utara)
Ternate, Alafanews - Makna politik identitas tidak bisa dilepaskan dari identitas itu sendiri karena menafsirkan identitas tertentu menjadi satu kesatuan menyeluruh yang ditandai dengan masuk atau terlibatnya seseorang dalam satu kelompok atau golongan tertentu yang memiliki visi-misi dan tujuan politik yang sama. Politik identitas pupular bukan hanya terjadi di Indonesia saja disaat pelaksanaan pemilu dan pemilihan, tetapi politik identitas ini sudah ada sejak dulu dan bukan barang baru yang muncul hari ini di Indonesia, terutama tumbuh-suburnya politik identitas di Amerika Serikat. Maka di Amerika kemaujudan politik identitas pasti melekat pada adanya sikap diskriminasi yang jelas kelihatan perbedaan warna kulit antara kulit putih dengan kulit hitam. Perlakuan berbeda diberlakukan kepada kulit hitam yang dianggap kaum Muhajirin/pendatang oleh kulit putih sebagai kaum Ansor/pribumi yang kemudian kulit hitam dianggap bukan sebagai penduduk Amerika. Untuk itu meminjam pendapatnya Cressida Heyes yang dikutip oleh Yeni Sri Lestari dalam “Politik Identitas di Indonesia” Heyes mendefinisikan bahwa politik identitas sebagai penandaan aktivitas politik dalam pengertian yang lebih luas dan terorisasi terhadap ditemukannya pengalaman ketidakadilan yang dialami oleh anggota-anggota dari kelompok sosial.
Maka berbicara tentang politik identitas tidaklah jauh kaitannya dari interest/kepentingan kelompok yang di representasikan sebagai pandangan publik. Skema yang diciptakan sedemikian rupa tak lepas dari tujuan pemobilisasian masa dengan memakai jubah/sorban sebagai tampilan simbol Islam dalam mencapai sebuah target untuk memonopoli keadaan atau dengan kemampuan menggiring opini publik untuk mendukung pasangan calon tertentu dengan satu alasan tentang doktrinal agama. Dalam konteks-konteks tertentu maupun isu periodik yang sedang berkembang dalam masyarakat modern, katakanlah pada “pemilu, maupun konstalasi politik lainnya”. Narasi politik identitas selalu menjadi senjata pamungkas bagi beberapa agenda untuk pengoptimalisasian kepentingan politik atas nama agama yang diperjuangkan secara terstruktur, sistematis dan massif (TSM) untuk kemudian berusaha membenturkan kepentingan politik identitas dengan doktrin-doktrin agama yang seolah-olah antara politik dengan agama itu tidak ada hubungannya dan saling bermusuhan.
Ternyata politik identitas telah terbukti melahirkan polarisasi yang sangat tajam di tengah-tengah masyarakat, sehingga dengan maraknya isu-isu politik identitas yang dimainkan oleh kelompok-kelompok yang sudah terbiasa mengelolah proyek politik identitas ini, dan apalagi di musim Pemilu hari ini, maka politik identitas sangat sakti akan membelah masyarakat yang memiliki girah politik yang memang ekstrim dan atau fanatik terhadap figur-figur tertentu yang susah kita bendung spirit fanatisme mereka. Adanya gejala global yang tidak bisa dilepas-pisahkan oleh pengaruh politik identitas global pasca kemenangan Victor Orban di Hungaria (2010), Brexit di Inggris (2016), Donal Tramp di Amerika Serikat (2016), Milos Zeman di Ceko (2018), dan Jair Balsonaro di Brasil (2018).
Indonesia sebagai bangsa yang lahir dengan proses sejarah yang panjang. Tidak mudah dengan begitu saja melepaskan setiap peristiwa yang pernah menimpa bangsa ini. Fenomena politik identitas pertama kali hadir dalam bingkai VOC, sampai pada puncaknya saat kolonialisme Belanda yang dengan gagahnya memperdaya bangsa ini melalui rekayasa tatanan sosial yang tak berdasar. Rekayasa tatanan sosial itu berupa, pertama, kelas atas terdiri dari orang-orang Eropa, kedua, kelas menengah terdiri dari orang-orang Timur Asing (Cina, Arab, India), dan ketiga, kelas bawah yang terdiri dari orang-orang pribumi Indonesia asli. Masing-masing golongan diberlakukan tidak setara, sehingga bisa dikatakan penggolongan tersebut menimbulkan diskriminasi dalam berbagai kebijakan dan tindakan sosial.
Pembagian kelas dalam struktur sosial pada masa kolonial Belanda mengakibatkan terjadinya dikotomi didalam tatanan sosial masyarakat pribumi. Pada akhirnya berdampak pada realitas sosial-ekonomi, sosial-politik maupun stratifikasi sosial lainnya. Dalam hal pembentukan identitas sosial dijadikan sebagai upaya infiltrasi terhadap nilai-nilai luhur yang ada dalam masyarakat pribumi, yang kemudian dijadikan sebagai “tameng” untuk mengeksploitasi segala kekayaan alam yang ada di Indonesia. Karena kekayaan alam yang terdapat di Indonesia ini sangat banyak dan luar biasa aneka ragamnya, mulai dari sektor pertambangan Emas. Nikel, Besi, Batubara, Minyak Bumi dan masih banyak lagi yang lainnya. Tanah air Indonesia yang dikatakan oleh orang Mesir diibaratkan seperti sekeping taman surga yang diturunkan Tuhan ke Indonesia karena tanahnya yang begitu subur, sehingga jika sebuah tongkat saja ditancapkan ke bumi Indonesia maka tongkat itu pasti akan tumbuh menjadi pohon dan menghasilkan buah-buahan yang segar dan lezat untuk di makan.
Alam demokrasi Indonesia yang maftuhah/open untuk kemudian memberikan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya kepada warga negara Indonesia agar mengambil bagian dalam proses demokrasi melalui pelaksanaan pemilihan umum tahun 2024 untuk berkonstribusi menjadi pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk berwenang membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan kekayaan alam yang dimikiki oleh Indonesia untuk dipergunakan sebesar-besarnya demi menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh warga negaranya agar tidak ada lagi rakyat Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan karena kemiskinan itu ternyata dipelihara oleh negara untuk memberikan kekayaan kepada kelompok-kelompok tertentu yang berkuasa saat ini. Makanya yang miskin tetap saja miskin dan yang kaya semakin bertambah kekayaannya, karena ada kebijakan yang dibuat oleh pemerintah/eksekutif dan DPR RI/legislatif yang patut kita curigai karena telah terjadinya pemufakatan jahat dalam membuat peraturan perundang-undangan yang berpihak pada kepentingan bagi-bagi fulus.
Tampilnya, sosok calon Presiden yang bernama Anies Rasyid Baswedan dengan jargonnya bahwa akan melakukan “perubahan” secara radikal jika dirinya terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia pada pelaksanaan pemilu tahun 2024. Menurut ijtihad politik Anies bahwa Indonesia hari ini masih memiliki ruang al-hurriyyah/kebebasan berpendapat, berekspresi dan berkarya bagi anak-anak muda Indonesia, al-musawamah/kesetaraan, kesempatan dan perlakukan yang sama dihadapan kekuasaan merupakan nilai-nilai demokrasi yang harus dijunjung tinggi oleh siapa pun yang berkuasa di negeri ini. Jangan pernah kekuasaan itu dijadikan sebagai alat untuk membunuh dan menghabisi sesama anak bangsa yang melakukan kritikan yang konstruktif untuk kebaikan bangsanya sendiri. Maka menurut pikiran demokrasinya Anies Rasyid Baswedan bahwa penderitaan yang dirasakan oleh petani, nelayan, guru honorer adalah jauh lebih penting karena penderitaan itu sangat menyakitkan hati yang dialami oleh rakyat Indonesia, sehingga wajib hukumnya untuk dibereskan dan harus dihilangkan penderitaan-penderitaan rakyat itu, dan hal ini menjadi agenda besar yang telah dititipkan oleh rakyat Indonesia kepada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Anies Rasyid Baswedan dan Abdul Muhaimin Iskandar yang telah diusung oleh Nasdem, PKB, dan PKS serta Partai Umat.
Ternyata demokrasi itu yang oleh Anies adalah harus selalu dihidupkan dan demokrasi di negeri ini tidak boleh mengalami kematian dan apalagi dimatikan, untuk kemudian dapat menciptakan keadaan Indonesia agar lebih baik, lebih makmur dan lebih-lebih rakyatnya harus memperoleh kesejanteraan secara ekonomi agar tidak ada lagi rakyat Indonesia yang hidup dalam kelaparan karena susahnya mendapatkan kesempatan yang sama dihadapan kekuasaan, maka sangat dibutuhkan sebuah konsenterasi yang lebih fokus untuk membereskan hajat dasar bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, politik identitas hari ini yang kemudian diidentikkan kepada Anies Rasyid Baswedan hanya dijadikan sebagai senjata nuklir untuk meruntuhkan pengaruh kecerdasan dan kemampuan komunikasinya yang luar biasa itu, dan terpotret bahwa Anies tidak lagi menghiraukan dan memperdulikan soal hembusan politik identitas yang selalu saja dikaitkan dengan dirinya. Karena bagi Anies bahwa yang namanya tuduhan itu harus dibuktikan secara nyata oleh orang yang menuduh dan lagi-lagi tuduhan bahwa dirinya adalah salah satu pihak yang ikut menyumbangkan politik identitas di negeri ini dengan sendirinya sudah terbantahkan ketika dirinya terpilih menjadi Gubernur DKI Jakarta. Memang, ada semacam ketakutan yang dirasakan oleh pihak-pihak tertentu yang kemudian menggunakan cara-cara tidak terpuji untuk berusaha keras menggagalkan pasangan calon Anies dan Muhaimin agar tidak boleh tembus masuk ke dalam Istana Negara, karena jika Anies yang menjadi Presiden Republik Indonesia, maka penganut ajaran politik identitas akan semakin tumbuh subur dan kemudian akan di sokong habis-habisan oleh Anies sebagai Presiden. Justru terjadi logika terbalik bahwa yang memainkan politik identitas itu sesungguhnya bukan munculiyyah dari Anies sendiri, tetapi yang memainkan barang ini adalah pihak-pihak yang tidak ikhlas hatinya dan akan mengganggu bisnis keluarganya, kelompoknya dan lebih-lebih mereka tidak akan leluasa lagi untuk merampok kekayaan negara ini, jika sekiranya Anies Rasyid Baswedan yang terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia.
Mereka seolah-olah lupa ingatan, bahwa sistem demokrasi saya, anda dan kita semua adalah wajib menyelenggarakan Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota DPRD yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Maka demokrasi ala Anies Rasyid Baswedan adalah demokrasi yang hidup dan matinya selalu setia berkoalisi dengan rakyat Indonesia. Semoga tulisan ini bermanfaat. Wallahu ‘alam Bishshawab.