Oleh: Fahrul Abd. Muid
(Penulis Adalah Sekretaris ICMI Kota Ternate-Maluku Utara)
Adalah terminologi Santri yang kemudian di tafsirkan dengan mereka yang pernah menimba ilmu agama di sebuah tempat yang berismu pesantren, dan menurut penafsiran yang lain bahwa Santri dimaknai sebagai orang yang rajin beribadah dan taat dengan sungguh-sungguh kepada Allah Swt dimana saja dia berada. Kemudian secara etimologi atau linguistik bahwa identitas setiap Santri dapat dijabarkan dari makna per huruf pada kata “santri’ itu sendiri, maka kata Santri dalam pendekatan bahasa Arab terdiri dari 5 huruf, yakni Sin, Nun, Ta’, dan Ya’, bahwa huruf sin berarti saafiqul khoir artinya pelopor kebaikan dimana pun setiap Santri berada, kemudian huruf nun yang berarti naasibul ‘ulama yang berarti penerus ‘ulama, karena Santri memang merupakan kader kiyai, calon yang kelak diandalkan akan menjadi sosok penerus perjuangan ‘ulama dimana pun setiap Santri berada, kemudian huruf ta’ yang berarti taarikul ma’ashi artinya selalu meninggalkan perbuatan maksiat dimana saja setiap Santri berada, dan huruf ra’ dan ya’ yang berarti ridho Allah yang diharapkan dimiliki oleh Santri dan sifat yaqin yang sangat kuat dan kokoh dimiliki oleh setiap Santri dalam berjihad kepada Allah Swt untuk tholabul ‘ilmi atau menuntut ilmu dan berkhidmat kepada bangsa dan negaranya.
Selanjutnya, tafsir Santri mengalami perkembangan makna yang sangat luas sehingga kemudian maknanya tidak lagi dibatasi kepada orang yang dianggap Santri dengan orang yang pernah belajar agama Islam di pondok pesantren saja. Akan tetapi Santri itu adalah simbol dari kelompok umat Islam dan taat menjalankan syari’at ibadah, sehingga orang yang beragama Islam, tetapi pada saat yang sama ia belum taat menjalankan syari’at Islam dengan konsisten secara terus menerus dimana pun dia berada maka disebut sebagai Islam abangan. Oleh karena itu kata Gus Dur, Islam yang abangan ini sudah ada dalam dirinya kalimat Laa Ilaha Illallah, tetapi masih melupakan kalimat Muhammadur Rasulullah, sehingga menggabungkan kedua kalimat ini dalam diri setiap muslim akan menjadikan dirinya dapat dikatakan sebagai seorang Santri yang sempurna. Maka disini dapat ditafsirkan bahwa Santri adalah kelompok umat Islam yang memahami, mengkaji, dan mengamalkan ajaran Islam secara konsisten, siapa pun dan dari manapun, baik lintas ras, etnik maupun budaya.
Oleh karena itu, tafsir Santri klasik berbeda dengan tafsir Santri saat ini. Santri tidak hanya sebuah label bagi setiap orang Islam yang takhrij/keluaran pesantren, walaupun bukan alumni pesantren tapi beragama Islam, taat menjalankan perintah agamanya dan hormat kepada kiai, ulama dan baik akhlaknya sudah dapat dikatakan sebagai Santri. Maka setiap orang Islam yang lulusan SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi umum, tapi hormat kepada Kiai, ulama dan dia menjalankan perintah agama, ahli ibadah, memiliki corak berpikir yang moderat dalam keagamaan, yang seperti ini sudah dapat dipanggil sebagai seorang Santri. Jika tafsir Santri mengalami perluasan makna yang sangat kontekstual, maka pada saat yang sama tafsir jihad yang dinisbatkan kepada Santri juga mengalami makna luas yang menemukan relevasinya sesuai dengan perkembangan zaman.
Dengan dasar tersebut, jihad Santri di masa sekarang ini adalah dakwah bil hal, bukan hanya dakwah secara verbal yang hanya sekedar menyeru kepada kebaikan dengan kata-kata, melainkan dakwah dalam ruang lingkup yang lebih luas salah satunya dengan cara dakwah intelektual dengan banyak menulis buku-buku, karena itu dalam al-Qur’an disebut dengan narasi jihad, sehingga terdapat ayat-ayat al-Qur’an yang menyebutkan narasi jihad secara langsung yang membutuhkan penafsiran ayat-ayat ini secara kontekstual. Maka Santri yang melakukan jihad pada saat ini adalah di tafsirkan dengan jihad sosial, yaitu jihad yang lahan garapaan pokoknya adalah perbaikan sosial, termasuk pemberdayaan eknonomi masyarakat atau ummat yang kurang mampu. Survei membuktikan bahwa orang-orang yang non-Islam telah menggarap bagian ini dengan sangat baik, salah satu contoh yang mereka garap dengan rekayasa ilmu pengetahuan modern dengan melakukan pembangunan irigasi dan mengalirkan air dari bawah ke atas di beberapa desa di Indonesia yang kekurangan air bersih dan berdampak terhadap perkebunan Padi bagi petani yang memang membutuhkan sistem irigasi yang canggih untuk mengalirkan air-air itu untuk kesuburan sawah-sawah mereka khususnya para petani padi yang berada di Kabupaten Halmahera Timur.
Banyak desa-desa yang berada di pesisir pantai di Indonesia pada umumnya dan khususnya di Provinsi Maluku Utara salah satunya desa-desa di Kecamatan Kepulauan Joronga dan lainnya yang sangat membutuhkan air bersih untuk dikonsumsi sebagai air minum untuk mempertahakan kehidupan mereka yang saat ini tidak diperhatikan oleh pemerintah daerah, padahal jika dilakukan rekayasa salinitasi air laut untuk dirubah menjadi air tawar dan sangat baik untuk dikonsumsi sebagai air minum oleh masyarakat desa itu dengan cara pembelian Mesin dari negara Jepang yang sama sekali tidak pernah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Halmahera Selatan. Jika keadaan yang buruk ini dimanfaatkan oleh orang-orang agama lain, maka tidak sedikit dari penduduk desa itu yang kemudian tertarik terhadap kebaikan agama yang dibawa oleh orang-orang tersebut karena menjalankan misi kemanusiaannya. Jika ada pengusaha orang non-Islam yang melakukan rekayasa sistem Salinitas dengan pengadaan Mesin dari Jepang itu agar terwujud secara nyata perubahan air laut menjadi air tawar/bersih untuk siap diminum dan mempertahankan kehidupan mereka, maka orang non-Islam ini dapat juga dikatakan sebagai seorang Santri dalam konteks perilaku kemanusiaannya dan atau akhlak kemanusiaannya.
Kemudian, jihad kultural yang dilakukan oleh Santri yaitu melestarikan budaya keagamaan yang telah ada dan mendekatkan beragam dimensinya sehingga lebih mudah diterima dan diamalkan oleh Masyarakat kita, tanpa mengurangi esensi inti ajaran Islam, khususnya untuk orang-orang yang baru bertaubat atau mengenal Islam. Lalu jihad spiritual yang dilakukan oleh Santri yaitu jihad yang mendorong para pengamal agama untuk memperbaiki kualitas ibadah mereka dengan perenungan, tadabbur dan tafakkur. Mempertanyakan kambali seluruh amal ibadahnya untuk menghasilkan kualitas ibadah yang lebih baik. Tujuannya agar tidak ada kesombongan dalam beragama dan menjadikan kekuatan budaya sebagai infrastruktur kehidupan keagamaan. Kemudian jihad ilmu pengetahuan, yaitu jihad Santri membangun dasar argumentasi yang kuat untuk melindungi karakter beragama kita yang menghargai keragaman, agar kita tidak mudah dipatahkan oleh pandangan baru yang memecah belah sesama warga bangsa dengan doktrin-doktrin agama yang anti dengan nilai-nilai kebudayaan kita. Untuk itu dibutuhkan bangunan argumentatif/hujjah yang kuat, khususnya dalam menghadapi penyebaran berita bohong atau hoax di media sosial yang saat ini akan dimanfaatkan untuk kepentingan politik Identitas dan atau politisasi agama pada tahun politik hari ini. Selanjutnya adalah jihad peradaban yaitu jihad para Santri yang arahnya menciptakan masyarakat yang beradab atau harmonis, saling menghormati meski berbeda-beda dalam indentias kesukuannya lebih-lebih berbeda dalam pilihan politik tetapi saling menghormati dan menghargai soal perbedaan itu. Masyakarat yang memandang diversitas atau kebhinekaan sebagai kekuatan, bukan dipandang sebagai kelemahan. Masyarakat yang mampu menjadi pelengkap bagi yang lainnya, sehingga nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan dapat berjalan berdampingan dengan serasi serta harmonis, tanpa mencuri pandang curiga satu sama lainnya.
Dengan kata lain, bahwa jihad Santri masa kini memiliki ranah garapan yang luas lagi untuk perbaikan kebangsaan kita kearah yang lebih baik, dan hari ini para Santri sudah tersebar dimana-mana baik di lembaga pemerintah maupun di non-pemerintah secara mandiri, tetapi selalu berkolaborasi dengan program pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan rakyat Indonesia secara ekonomi. Dan jihad selanjutnya yang dapat dilakukan oleh Santri adalah jihad siyasiyyah atau jihad politik yang tidak kalah pentingnya dengan jihad-jihad tersebut. Karena kekuatan jihad politik ini sangat menentukan keberhasilan jihad-jihad yang lainnya, termasuk didalamnya jihad yang satu ini adalah diharapkan agar para Santri banyak yang berjihad menjadi wakil-wakil rakyat dengan jalan menjadi calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota dan lebih-lebih Santri harus berjihad menjadi calon seorang Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Maka kebangkitan para Santri adalah simbol kebangkitan Islam Indonesia dan kebangkitan dunia sekaligus. Selamat memperingati hari Santri Nasional. Semoga bermanfaat tulisan ini. Wallahu ‘alam bishshawab.