(Konstribusi Pemikiran untuk ICMI Annual Meeting)
Oleh: Fahrul Abd Muid
Penulis adalah Dosen IAIN dan Sekretaris ICMI Kota Ternate-Maluku Utara
Alafanews - Alam sudah diatur sedemikian rupa oleh Allah Swt dengan segala keseimbangannya yang disebut dengan Sunnatullah. Alam ini semuanya berada dalam satu sistem kerja yang saling mendukung, saling terkait, dan saling tergantung satu sama lain. Kehidupan alam dalam pandangan Islam berjalan di atas prinsip keselarasan dan keseimbangan. Alam semesta berjalan serasi dan dengan perhitungan yang tepat. Sekalipun di alam ini tampak seperti unit-unit yang berbeda artinya, apabila ada satu unit atau bagian yang rusak pasti menyebabkan unit atau bagian lain menjadi rusak pula. Prinsip keteraturan yang serasi dan perhitungan yang tepat, semacam ini seharusnya menjadi pegangan atau landasan berpijak bagi manusia dalam menjalani kehidupan di muka bumi ini. Jika keseimbangan itu terganggu maka akan mejadi kerusakan di alam ini.
Dengan demikian, segenap tindakan manusia harus didasarkan atas perhitungan-perhitungan cermat yang diharapkan dapat mendukung prinsip keteraturan dan keseimbangan tersebut. Semua makhluk harus dilindungi haknya. Hak untuk hidup dan juga hak untuk mempertahankan dirinya. Fiqih ekologi menyebutkan bahwa ketentuan dasar dari semua makhluk mempunyai status hukum “Muhtaram”, bukan dalam arti terhormat, tetapi harus dilindungi eksistensinya sebagai mahluk hidup, maka siapapun terlarang merusak binasakan lingkungannya. Hubungan antara manusia dengan alam/lingkungan merupakan hubungan dengan sesamanya bukan merupakan hubungan antara penakluk dan yang ditaklukkan atau antara tuan dengan hamba tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah Swt, karena kemampuan manusia dalam mengelola alam ini bukanlah akibat kekuatan yang dimilikinya tetapi akibat anugerah Allah Swt.
Jika terjadi eksploitasi terhadap sumber daya alam secara berlebihan, maka hal ini dapat dipastikan akan menjadi sumber terjadinya bencana alam seperti longsor maupun banjir di Indonesia pada umumnya dan khususnya realitas hari ini terjadi kerusakan alam/lingkungan di Provinsi Maluku Utara yang menyebabkan terancamnya kehidupan umat manusia yang hidup bergantung pada alam ini. Hadirnya perusahan-perusahan tambang yang ada di Kabupaten Halmahera Tengah, Kabupaten Halmahera Selatan yang melakukan pengelolaan sumber daya alam yang terlanjur sangat rakus dan tidak berakhlak terhadap lingkungan, sehingga tidak lagi mempertimbangan nilai-nilai “al-insaniyyah” (kemanusiaan) dan kealaman yang akan mengakibatkan bencana alam dan berdampak terhadap ratusan bahkan ribuan manusia kehilangan mata pencaharian sebagai petani, nelayan, dan lebih-lebih manusia akan kehilangan nyawanya dan kehilangan tempat tinggalnya. Oleh sebab itu, maka semua peraturan yang dibuat oleh pemerintah harus dijalankan dan wajib ditaati oleh perusahan-perusahan tambang yang hari ini sudah melakukan pengelolaan sumber daya alam di Provinsi Maluku Utara dan kepada aparat penegak hukum tidak tebang pilih jika kemudian siapapun yang melakukan ekspolitasi yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan harus dihukum dengan seadil-adilnya.
Bencana lingkungan seperti tsunami, tanah longsor, lumpur, pencemaran lingkungan, gempa bumi adalah sederet bencana yang silih berganti tidak selamanya karena faktor alam akan tetapi juga karena faktor manusia yang merusak alam. Hal ini sesuai dengan Firman Allah Swt dalam surah Ar-Rum ayat 41 yang artinya,”telah nampak keruskan ekologi di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan-perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar”.
Dalam Islam ditentukan bahwa tujuan Allah Swt mensyariatkan hukumnya adalah untuk memelihara kemshlahatan manusia, sekaligus untuk menghindari keruskan (mafsadah), baik didunia maupun di akhirat. Untuk mewujudkan kemashlahatan itulah mengutip pendapatnya Abu Ishaq al-Syatibi, dalam kitab “Al-Muwafaqat”, membagi tujuan hukum Islam (maqashid al-syari’ah) menjadi lima hal: 1) penjagaan agama (hifdz al-din), 2) memelihara jiwa (hifdz al-nafs), 3) memelihara akal (hifdz al-‘aql), 4) memelihara keturunan (hifdz al-nasl), dan 5) memelihara harta benda (hifdz al-mal). Al-Syatibi juga menjelaskan bahwa sesungguhnya “Maqashid al-Syari’ah” ditujukan untuk menegakkan kemashlahatan-kemashlahatan agama dan dunia, dimana prisnip-prinsip itu diabaikan, maka kemashlahatan dunia tidak akan tegak berdiri, sehingga berakibat pada kerusakan dan hilangnya kenikmatan perikehidupan manusia.
Lingkungan adalah tempat tinggal dan tempat hidup makhluk hidup. Lingkungan alam telah didesain sedemikian rupa oleh Allah Swt dengan prinsip “tawazun” (keseimbangan) dan al-musawamah (keserasiannya) serta saling keterkaitan satu sama lain. Mengutip pendapatnya Yusuf Qaradhawi dalam kitabnya: “Ri’ayatu al-Bi’ah fi al-Syari’ati al-Islamiyyah”, menjelaskan mengenai posisi pemeliharaan ekologi (hifdz al-‘alam) menurut Islam adalah memelihara lingkungan setara dengan menjaga “Maqashid al-Syari’ah” yang lima tersebut. Perintah menjaga lingkungan secara logis dan akal pikiran adalah memiliki tujuan yang sangat “ma’qul” (masuk akal) dalam agama Islam. Dalam agama Islam ada tiga tingkatan atau tugas proses yang harus dilalui sehingga tuntas. Pertama, adalah “ta’bbudiyyah”, artinya seorang Muslim/Muslimah wajib mengerjakan shalat, puasa, dan haji sebagai bentuk nyata sebagai “ta’abbudiyyah” bentuk pernyataan kepatuhan terhadap petunjuk dan perintah Allah Swt. Kedua, “Ta’aqquliyyah” artinya menggunakan otak/akal untuk memahami ibadah yang masuk akal. Misalanya, perintah “berwudhu” sebelum mengerjakan shalat, untuk apa? Supaya bersih. Perintah berpakaian untuk apa? Agar menjadi manusia terhormat karena aurat terjaga atau tidak telanjang. Ketiga, “Takhalluq”, artinya ibadah harus dijadikan perilaku, ibadah harus dijadikan akhlak. Maka sangat disayangkan jika memperlajari “thaharah” hanya untuk shalat saja tidak di jadikan sebagai akhlak. Padahal dalam bab “thaharah” itu sudah berbicara tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan hidup.
Menjaga lingkungan harus menjadi akhlak, tabi’at dan kebiasaan setiap orang. Menjaga lingkungan ini menjadi sangat mudah dan sangat indah agar bersumber dari kebiasaan atau keseharian setiap manusia, sehingga “tawazzun” (keseimbangan) dan “al-istidamah” (kelestarian) alam akan terjadi dengan sendirinya tanpa harus ada ancaman hukuman, dan sebab-sebab lain dengan maksud tertentu. Apabila ada ketidakseimbangan atau kerusakan yang dilakukan manusia, maka akan menimbulkan bencana yang bukan hanya akan menimpa manusia itu sendiri tetapi semua makhluk yang tinggal dan hidup ditempat tersebut akan binasa. Artinya seorang Muslim/Muslimah yang benar-benar menyakini Al-Qur’an dan Hadits, dia tidak akan sewenang-wenang terhadap alam ini. Jika seorang Muslim/Muslimah memahami al-Qur’an dan Hadits dengan baik dan bisa memahami secara mendalam makna “Rabbal’alamin dan “Rahmatanlil’alamin” dengan baik, sudah pasti dia tidak akan merusak alam lingkungannya. Bahkan dalam pelaksanaan Ibadah haji seseorang yang berihram dilarang mencabut pohon, tidak boleh membunuh binatang. Hal ini sangat jelas satu implementasi daripada ajaran dasar yang terkandung dalam simbol Ibadah haji yang kemudian setelah haji itulah yang harus dilakukan ditengah masyarakat untuk tidak merusak alam dan selalu harus menjaga lingkungannya dengan baik.
Oleh karena itu, solusi yang diberikan fiqih ekologi terhadap keruskan lingkungan yang terjadi antara lain adalah dengan kembali kepada perbuatan manusia untuk melestarikan alam ini atas perintah Allah Swt misalnya dengan al-harakah (gerakan) menanami kembali pohon-pohon dan menjaga lingkungan dengan tidak membuang sampah sembarangan, meminimalisasi penggunaan plastik, menjaga kualitas udara agar tidak tercemar dengan inovasi-inovasi yang juga harus dipikirkan oleh manusia sebagai Khalifah di bumi dan sebagai pewaris bumi sebagai tempat tinggal semua mahluk. Fiqih ekologi juga bisa mengatur sanksi apa yang harus diberikan kepada manusia yang merusak alam karena memang Allah Swt sudah mengingatkan bahwa keruskan alam memang akbat tangan manusia, sehingga hukuman yang akan diterapkan kepada perusak alam juga harus bisa membuat dia jera.
Solusi inilah sebenarnya dalam fiqih ekologi bisa dirumuskan oleh pemerintah, kerena pemerintah mempunyai kekuasaan terhadap rakyatnya dan tentunya pemerintah yang menginginkan kemakmuran dan kenyamanan bagi rakyatnya. Dalam Islam sendiri hukuman atau sanksi yang bisa diberikan harus dikembalikan kepada Hakim. Karena Hakim yang hakiki adalah Allah Swt dan hukumanpun dari Allah Swt (hudud) akan tetapi hukuman yang tidak diterapkan oleh Allah Swt didunia ini yang disebut “ta’zir” (hukuman yang diterapkan oleh penguasa atau pemerintah yang berwenang). Tentunya hukuman “ta’zir’ ini harus juga berdasarkan pada ayat Al-Qur’an dan Hadits yang tersirat yang memerlukan kajian yang mendalam seperti yang hari ini dilakukan oleh ICMI ORWIL Maluku Utara dalam melaksanakan “ICMI ANNUAL MEETING” dengan kegiatan utama adalah “Temu Kaji Cendekiawan Muslim se-Indonesia” dengan memilih tema “Lingkungan dan Perubahan Iklim”. Semangat “Annual Meeting” ini yang harus dibicarakan juga adalah tentang konstruksi hukuman “ta’zir” bagi perusak lingkungan hidup, karena hukuman ini sebagai hukuman yang tidak ditentukan oleh Al-Qur’an dan Hadits yang berkaitan dengan “al-jarimah” (kejahatan) ekologi yang melanggar hak Allah Swt dan hak hamba yang berfungsi memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan yang serupa. Dan membicarakan spritualitas agama fiqh al-bi’ah (fiqih ekologi) kembali dipertimbangkan oleh para ahli lingkungan untuk mengingatkan manusia tentang urgensi memelihara lingkungannya. Para ahli fiqih ekologi mendapatkan kesempatan untuk berijtihad dan menjadikan masalah ekologi sebagai bagian dari “maqashid al-syari’ah al-dharuriyyah”, yakni tujuan primer disyariatkannya Islam. Penting juga dengan membaca “tarikh” (sejarah) bagaimana Rasulullah Saw memperlakukan orang yang merusak alam dan para sahabat serta bagimana pandangan ‘Ulama terhadap perusak lingkungan. Akan tetapi yang terpenting juga adalah bagaimana “bina’ alwa’yi” (membangun kesadaran) warga bangsa dan dunia sebagai manusia yang sama untuk “hubbu al-bi’ah” (mencintai lingkungannya) agar dia bisa hidup dengan “muthmainnah” (tenang) tidak dengan hawa nafsunya untuk menggunakan alam tanpa memikirkan kepentingan rakyat atau masyarakatnya. Maka gagasan dan sosialisasi fiqih al-bi’ah (fiqih ekologi) perlu diperluas sehingga wacana aktual keagamaan agar menggugah kesadaran umat Islam terhadap urgensi pemeliharaan ekologi (hifdz al-bi’ah) dan bahaya “mafsadah” (pengrusakan) alam bagi kehidupan ekosistem saya, anda dan kita semua di masa sekarang dan mendatang. Semoga bermanfaat tulisan ini. Wallahu a’lam Bishshawab.