Oleh: Fahrul Abd Muid
Penulis adalah Dosen IAIN Ternate
Alafanews - Adalah perintah wahyu Iqra’ (bacalah) merupakan peradaban literasi pertama kali yang tertuju kepada Nabi Muhammad Saw dalam rangka menghidupkan spirit rohaniyyah untuk membangun desain program peradaban manusia dan alam semesta, amar “membaca” sarat dengan aneka ragam makna yaitu, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu, bacalah tanda-tanda alam, tanda-tanda zaman, membaca fakta sejarah, mengenal diri sendiri, membaca situasi dan kondisi dunia baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Karena amar/perintah yang datang dari peradaban langit untuk “membaca” adalah sesuatu yang dihukumi wajib dan menjadi keharusan bagi penguasa negara dalam kaitannya agar meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dengan mengukur capaian pembangunan manusia berbasis sejumlah komponen dasar kualitas hidup manusia. Melalui Approach tiga dimensi dasar yang mencakup umur panjang dan sehatnya manusia Indonesia, memiliki kecerdasan ilmu pengetahuan (mencerdaskan kehidupan bangsa), dan kehidupan yang layak bagi rakyat Indonesia. Maka untuk krusing dimensi kesehatan manusia, digunakan angka harapan hidup waktu manusia Indonesia lahir ke alam semesta ini. Dan “membaca” untuk membangun peradaban alam semesta dalam aneka maknanya adalah sebagai salah satu syarat number wahid/pertama dan utama untuk mendorong penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di alam semesta ini, serta syarat utama untuk membangun peradaban masyarakat dunia.
Mencintai tanah air adalah bagian dari Iman (hubbul wathan min al-iman) merupakan dzauq (rasa) nasionalisme yang kuat dalam dirinya sebagai warga bangsa Indonesia. Nilai-nilai budaya atau adat-istiadat sangat mengakar pada masyarakat Kota Ternate yang disebut dengan istilah masyarakat-adat dan membangun masyarakat Provinsi Maluku Utara yang berkarakter adat se-atorang. Maka sampai hari ini masyarkat adat Kota Ternate tetap istiqamah menjaga adatnya untuk kemudian dalam kaidah ushul fikih dikatakan, “memelihara adat-istiadat yang lama dan masih dianggap relevan sampai hari ini, dan kemudian membuka diri untuk mengambil budaya baru yang dianggap baik untuk kemajuan sebuah peradaban.”
Samuel Philips Huntington dalam “clash of civilizations” (benturan peradaban) adalah seorang Guru Besar ilmu politik dunia yang kemudian menyebut tentang pasca bubarnya negara komunis Soviet tahun 1991, akan terjadi perang agama dan perang suku di beberapa belahan negara timur termasuk Indonesia, yang kemudian Huntington menyebutnya dengan istilah “benturan peradaban”. Bahwa akan terjadi perang peradaban yaitu sebuah perang yang dimotivasi, didorong, dan disebabkan oleh perbedaan agama dan suku bangsa. Ramalan Huntington ternyata menjadi kenyataan yang dialami oleh negara-negara Timur Tengah, lalu puncaknya adalah terjadi “Arab Spring” (sebuah serangkaian gerakan anti pemerintah yang berkuasa) dimana terdapat aksi protes, pemberontakan bersenjata yang menyebar di Jazirah Arab yang dimulai dari negara Tunis, Mesir, Libya, Irak, Suriah dan seterusnya. Kenyataan terjadinya perang agama dan suku telah berhasil membuktikan teori Huntington bahwa setelah bubarnya kekuatan negara komunis Soviet maka yang terjadi adalah perang peradaban antar-agama dan antar-suku benar terjadi di negara Timur Tengah. Adapun keinginan untuk menggulingkan pemerintah sah yang berkuasa pada masa itu dilatarbelakangi oleh sikap pemerintah sendiri yang dinilai abai dan selalu melakukan tindakan represif ketika masyarakat akan melakukan unjuk rasa terkait dengan masalah politik, sosial, dan ekonomi.
Ramalan Huntington ternyata tidak terbukti dan tidak berhasil untuk diterapkan di Indonesia, karena bangsa Indonesia sudah memegang teguh prinsip yang diajarkan oleh alam semesta yaitu, Ukhuwwah wathoniyyah (persaudaraan sesama warga-bangsa) dan memiliki prinsip dan asas-asas kebudayaan yang kuat untuk menyambungkan tali-temali kemajemukan dalam keragaman budaya dan menghargai nilai-nilai moderasi umat beragama dalam prinsip dasar ukhuwwah insaniyyah (persaudaraan se-kemanusiaan) adalah nilai-nilai humanis/kemanusiaan terlalu kuat ikatannya dan daya dorongnya dalam mempertahankan konsensus bersama untuk mengokohkan empat pilar kebangsaan yakni, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Indonesia (NKRI), dan Undang-undang Dasar 1945.
Maka membuat perspektif yang lebih luas dalam pelaksanaan kegiatan “Legu Tara No Ate” ini memiliki kekuatan magnet tersendiri untuk menyedot perhatian para ilmuwan dunia agar mereka dengan sendirinya melancong untuk hadir secara langsung dan menyaksikan lebih dekat untuk kemudian “membaca” ayat-ayat “Alam ma Kolano” atau penguasa alam karena hal ini sejalan dengan kedudukan manusia di alam ini sebagai Khalifah Fi al-Ardhi (Lihat QS. Al-Baqarah:[2]:[30]) yang kemudian diamanatkan menjadi khalifah atau wakil Tuhan di alam ini yang tentu saja untuk menjadi bagian kecil dari spirit “Alam ma Kolano” yang Rahmatan Lil ‘Alamin atau sebagai pelanjut untuk melaksanakan misi Rasulullah Saw sebagai Rahmat bagi semesta alam. Masyarakat dunia secara otomatis akan memberikan apresiasi dan pengakuan yang berkelas tinggi atas hak kepemilikan tanah air yang kita miliki hari ini. Karena dikatakan dalam sebuah adagium yakni, “barang siapa yang tidak punya tanah air, maka ia tak punya sejarah, dan barang siapa tak punya sejarah, maka tak punya karakter”. Maka pelaksanaan rutinitas ibadah sosial dalam format “Legu Tara No Ate” ini sesungguhnya kita ingin menampilkan kekayaan tradisi dan keunggulan nilai-nilai historis kesultanan Ternate yang pernah jaya, unggul dan kuat dimasa lampau dan bahkan bertahan kesaktiannya sampai masa kini dalam kegiatan “Tasyakkuran Alam ma Kolano”.
Legu “Tara No Ate” adalah bahasa kultur yang asal-usulnya telah melahirkan sebuah negeri “Gapi” yang saat ini “bertajalli” atau bermanivestasi untuk terwujudnya sebuah nama di alam ini menjadi “Ternate”. Jika diterjemahkan dalam pendekatan semantik, Tara artinya turun, No artinya anda/kamu, dan Ate artinya rangkul, menggaet. Ada pemahaman yang tersirat (mafhum-mukhalafah) dalam istilah “Tara No Ate” yang mengandung amar/perintah agar “Alam ma Kolano” harus membumikan peradaban dari alam langit agar segera turun dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah yaitu alam realitas/bumi untuk merangkul semua penduduk alam yang bertikai atau bermusuhan atau menumpahkan darah agar berkewajiban secara bersama-sama untuk membangun kehidupan umat manusia di alam ini dalam keadaan aman dan sentosa berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw.
Maka untuk senantiasa menfokuskan dirinya sebagai “Alam ma Kolano” yang hanya satu-satunya menyembah/bertauhid ilahiyyah kepada Allah Swt sebagai penguasa mutlak/tunggal akan menjadi bekal yang sangat penting dalam upaya membentuk alam peradaban dan kebudayaan (tsaqafah dan hadharah) bagi alam Kota Ternate yang maju dan unggul di kancah global. Sehingga pada hakikatnya bahwa memaknai secara loghawiyyah “Tara No Ate” dapat dimaknai sebagai wujud dari manivestasi Asma’ Allah untuk kita lestarikan setiap tahun dalam kegiatan “Legu Tara No Ate” ini yang didalamnya dilakukan ritual praktik adat-istiadat yang dikenal dengan sebutan “Daru Gam” yaitu berupa aktivitas kunjungan ke daerah-daerah tertentu untuk berziarah menguatkan hubungan shilaturrahim spritual kepada para arwah leluhur “Alam ma Kolano”, kemudian melakukan ritual adat “Kololi Kie” yaitu kegiatan ritual adat-istiadat mengelilingi gunung gamalama untuk berkomunikasi secara live (langsung) dengan alam semesta agar selalu berada dalam keadaan ramah dan lembut dengan kehidupan “Alam ma Kolano”, dan selanjutnya adalah melakukan kegiatan ritual “Fere Kie” yaitu sebagai wasilah untuk yang Mulia sang Sultan menyampaikan permohonan do’a kepada Allah Swt untuk meminta perlindungan (ma’unah dan ‘inahyah) serta jaminan keselamatan untuk “Bala Kusu se Kano-kano” sebagai manivestasi kecintaan sultan/Ou terhadap rakyatnya di alam semesta ini. Maka ke-islaman dan hakikat kalimat tauhid kita akan mencapai puncak yang tertinggi di alam semesta ini karena proses bermakrifat dari alam semesta yakni takhalli-tahalli dan tajalli, hingga ber-wahdat al-wujud, yang kemudian membawa kita pada pemahaman hakiki bahwa segenap realitas alam semesta ini hanyalah fatamorgana dan akan sirna, dan kita semua akan kembali ke hakikat yang tunggal, yaitu Allah Swt. Semoga bermanfaat tulisan ini. Wallahu ‘alam bishshawab.