![]() |
Kapal Tongkang yang Diduga Memuat Ore Nikel dari Hasil Tambang Ilegal |
TERNATE - Dugaan praktik tambang ilegal di Maluku Utara (Malut) tak terkendali dan semakin meresahkan. Aktivitas tambang nikel ilegal di Malut tak hanya terjadi di kawasan hutan, melainkan juga di pulau-pulau kecil. Salah satunya ialah pulau Gebe di Kabupaten Halmahera Tengah.
Sedikitnya ada tujuh perusahaan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) mengeruk lahan di pulau ini. Lima di antaranya tercatat memiliki status non-Clean and Clear (non-CnC). Izin tambang tidak melalui mekanisme lelang dan tidak menyampaikan rencana reklamasi serta tidak ada jaminan pascatambang. Lebih jauh, kelima perusahaan tersebut juga diduga tidak mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta rekomendasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Pulau Gebe hanya memiliki luas 224 km² telah menyebabkan kerusakan ekosistem pulau kecil yang seharusnya dilindungi berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 2014. Masyarakat lokal melaporkan penurunan produktivitas pertanian dan perikanan, serta kehilangan sumber air tawar.
"Kami sering kali mengalami dampak buruk dari aktivitas tambang ini," keluh warga yang tinggal di sekitar lokasi tambang. "Kadang kala kita juga kesulitan air bersih dan hasil tangkapan ikan berkurang drastis."
Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda berusaha memperbaiki pandangan publik soal masalah tambang ilegal, yaitu dengan memperbaiki tata kelola pertambangan di Maluku Utara.
Sherly Tjoanda, juga diketahui sangat membuka diri dalam hal informasi publik demi memastikan manfaat optimal bagi masyarakat, lingkungan, dan pembangunan daerah.
Namun demikian, upaya Sherly justru kontras dengan anak buahnya sendiri. Ketika dimintai konfirmasi sejumlah pejabat yang menduduki jabatan di instansi teknis memilih bungkam. Sebut saja Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Suriyanto Andili, Kepala Dinas Kehutanan Sukur Lila, dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Fachrudin Tukuboya.
Padahal, ketiga dinas tersebut memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk mengawasi tambang ilegal, meskipun kewenangan izin telah beralih ke pemerintah pusat.
Merusak Tata Kelola Tambang
Pemuda Pancasila Maluku Utara dan LSM Molucas Coruption Watch (MCW) menilai, aktivitas tambang ilegal ini sangat merusak tata kelola pertambangan di Maluku Utara. Pasalnya, tambang ilegal merugikan negara dari berbagai sisi, antara lain tidak membayar pajak dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), umumnya dikelola tanpa memperhatikan kesehatan dan keselamatan kerja, merusak lingkungan, termasuk tidak melakukan reklamasi dan rehabilitasi lahan.
"Tambang non-CnC bukan hanya persoalan legalitas, tapi juga mengancam keselamatan kerja dan lingkungan. Mereka tidak punya jaminan reklamasi, tidak ada audit lingkungan, dan itu sangat berbahaya,” ujar Juru Bicara Pemuda Pancasila Maluku Utara, Rafiq Kailul, Kamis 11 September 2025.
Gebe: Pulau Kecil yang Dieksploitasi
Dugaan praktik pertambangan ilegal ini berlangsung di Pulau Gebe Kabupaten Halmahera Tengah. Pulau tersebut masuk kategori pulau kecil sesuai Undang-undang No.1/2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang No.27/2007 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil dan Pesisir. Namun kenyataanya pulau kecil itu masih bisa dieksploitasi para mafia tambang.
Implementasi UU ini belum optimal, terbukti dengan masih berlangsungnya aktivitas pertambangan yang merusak lingkungan. Masyarakat dan organisasi lingkungan terus mendorong penegakan hukum agar izin tambang yang bertentangan dengan UU No. 1/2014 dicabut.
Lingkungan: Luka yang Tak Mudah Pulih
Menurut Rafiq, dampak kerusakan lingkungan akibat penambangan ilegal di Pulau Gebe sudah mulai terlihat. Ia menyebut ekosistem terganggu dan ruang hidup masyarakat setempat terancam.
"Aktivitas tersebut diduga menyebabkan deforestasi, pencemaran laut, dan penurunan hasil tangkapan ikan. Kerusakan pesisir bisa permanen jika reklamasi tidak dilakukan. Padahal izin mereka bahkan tidak punya AMDAL sah,” katanya. (*)