Mahalnya Suara Dalam Pemilu

Editor: alafanews.com author photo

Oleh: Fahrul Abd Muid

(Penulis adalah Sekretaris ICMI Kota Ternate-Maluku Utara) 


Sistem proporsional terbukalah yang akan digunakan pada pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun 2024 dan pemilihan legislatif, sehingga yang dibutuhkan haruslah memperoleh suara terbanyak untuk tiga pasangan calon agar kemudian dapat ditetapkan oleh KPU sebagai pemenangnya. Maka tidak ada pilihan lain bagi pasangan calon Capres Cawapres agar berjuang mengerahkan seluruh kemampuannya baik pikiran, tenaga dan kekuatan finansialnya sekaligus menggunakan strategi yang komprehensif untuk merebut suara Nahdlatul Ulama yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih dan telah terdaftar sebagai Daftar Pemilih Tetap (DPT) disamping adanya daftar pemilih tambahan dan daftar pemilih khusus yang juga berhak untuk menyalurkan suaranya dalam pelaksanaan Pilpres yang tahapan pemungutan dan penghitungan suara ditetapkan pada hari rabu sebagai hari libur nasional pada tanggal 14 Februari 2024. Kenyataan yang ada saat ini bahwa suara warga NU itu pada hakikatnya memiliki kemerdekaan/kebebasan untuk menentukan pilihannya pada saat pemungutan suara kepada pasangan calon siapa dia berikan dan pada saat yang sama suara anggota NU yang struktural dan warga NU yang kultural di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia akan terpecah pada masing-masing ketiga pasangan calon Capres dan Cawapres yang susah terkonsenterasi pada satu pasangan calon saja dan dapat dikatakan sesuatu yang mustahil hal itu terjadi.


Suara warga NU berpotensi diperebutkan dan mahal harganya untuk dijadikan objek penentuan perolehan suara bagi kemenangan salah satu pasangan calon, hanya saja tidak akan siginifikan suara warga NU untuk satu pasangan calon karena suara NU mengalami pecah seribu yang kemudian diibaratkan seperti cermin yang mengalami pecah berkeping-keping sehingga tidak bisa lagi dapat digunakan bercermin untuk melihat bayangan wajah yang utuh dan kemudian jauh dari kesempurnaan wajah dalam bercermin bagi wajah NU. Saling klaim dukungan suara warga NU pun mulai disabdakan oleh ketiga pasangan calon, baik yang merasakan dirinya murni sebagai kader NU maupun bagi yang lainnya yang juga merasa dekat dengan NU. Benturan kepentingan pun tak bisa terhindarkan untuk berebutan shautun NU yang kemudian membuat suara warga NU bagaikan harim Jamilah (gadis yang cantik) yang pada siapa terbuka qalbunya untuk menerima cintanya. Oleh karena itu, jika shautun warga NU yang manyoritas bertumpah-ruah disalurkan kepada salah satu pasangan calon yang kemudian memperoleh suara terbanyak dan dinyatakan menang oleh keputusan KPU, maka kepada pasangan Presiden dan Wakil Presiden Rupublik Indonesia yang terpilih karena dukungan shautun NU agar wajib hukumnya membuat policy/kebijakan pemerintah kedepan dengan selalu memperhatikan kesejahteraan rakyat Indonesia secara merata dan tidak ada lagi terjadi dikotomi serta diskriminasi dalam hal pembagian dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK) dan dana bagi hasil (DBH) yang ditransfer ke daerah. Tidak ada lagi yang namanya pembagian alokasi dana-dana al-maqshud harus dilakukan dengan cara-cara negosiasi dan terjadinya praktik suap menyuap atau fulus beli fulus seperti yang selama ini terjadi yang kemudian dianggap sebagai persoalan biasa-biasa saja.


Selanjutnya, bahwa suara warga NU adalah miliknya bangsa Indonesia bukan kemudian diklaim sebagai miliknya partai politik tertentu dan atau miliknya pasangan calon tertentu. Jika dikatakan bahwa suara warga NU akan pecah dan tidak utuh dan hanya tertuju kepada satu partai politik dan atau pasangan calon tertentu dalam pemilu 2024, maka sudah tentu hal itu terjadi karena memang warga NU harus diberikan kebebasan yang seluas-luasnya untuk menentukan hak pilihnya dalam pelaksanaan pemilu ini tanpa harus ditekan-tekan, diintimidasi dan apalagi harus dipengaruhi dengan cara membeli suara warga NU dengan fulus atau perilaku money politik yang dilakukan oleh pelaksana dan tim kampanye pemilu pasangan calon untuk kemudian menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye pemilu, baik secara langsung atau tidak langsung untuk kemudian tidak menggunakan hak pilihnya, menggunakan hak pilihnya dengan memilih peserta pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, memilih pasangan calon tertentu, dan memilih partai politik peserta pemilu tertentu oleh warga NU dan harus diingat bahwa jika terbukti dengan sengaja melakukan hal-hal tersebut diatas, maka sanksinya sangat berat yang akan dijerat kepada setiap orang yang terbukti melakukannya berdasarkan putusan administratif Bawaslu yaitu pembatalan sebagai pasangan calon serta pembatalan sebagai calon terpilih anggota legislatif dan kemudian tidak menggurkan sanksi pidana pemilu yang akan tetap diproses oleh Bawaslu dan Sentra Penegakan Hukum Terpadu oleh Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan.


Maka perlu saya meluruskan makna shautun warga NU dalam pemilihan umum tahun 2024, bahwa dalam penetapan daftar pemilih tetap (DPT), kita tidak temukan adanya istilah DPT yang NU atau DPT yang tidak NU tetapi hak pemilik suara dalam pemilu adalah yang berstatus sebagai warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih yaitu telah berusia 17 tahun saat melakukan pencoblosan, telah menikah dan atau pernah menikah dan telah terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) dan tidak pernah dicabut hak politiknya oleh pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan bahwa DPT itu harus berstatus sebagai warga NU, anggota dan atau sebagai pengurus NU, sehingga sangat mengandung rasis dan telah terjadi dikotomi jika kemudian dikatakan bahwa dalam pemilu itu ada suara NU, ada suara Muhammadiyyah, ada suara al-khairaat dan menyusul ada suara-suara identitas lainnya, maka yang tepatnya itu adalah suara-suara itu adalah suara-suara warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih yang wajib hukumnya memberikan hak suaranya pada tanggal 14 Februari tahun 2024 untuk ikut menentukan kebaikan bangsa Indonesia lima tahun yang akan datang yaitu tahun 2024-2029.


Ternyata suara itu mahal harganya dalam pemilihan umum hari ini bahkan dalam kehiduapan manusia bahwa suara itu bisa merubah nasib setiap orang untuk memperoleh nilai-nilai ekonomi yang luar biasa enaknya seperti bisa membeli rumah mewah, membeli kendaraan dan mudah mendapatkan uang itu sendiri. Misalnya,  orang yang suaranya bagus dan merdu pasti akan menjadi penyanyi atau artis yang terkenal dan dengan sendirinya suaranya itu akan menghasilkan uang karena pembayaran honor yang diterimanya. Dalam hal pemilihan umum jika seseorang memperoleh suara terbanyak maka dia akan menang dan memeroleh satu kursi sebagai anggota DPR, DPD, dan DPRD Provinsi dan anggota DPRD Kabupaten/Kota, dan kemudian dia pun akan mendapatkan gaji/penghasilan setiap bulannya dan jatah dana pokok pikiran (pokir) sebagai anggota dewan yang jumlah uangnya banyak sekali dan dia pun menikmati fasilitas perjalanan dinas yang dia akan rasakan dan nikmati selama lima tahun. Apalagi jika dia terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia menang dalam Pilpres karena pasangan tersebut memperoleh suara terbanyak, maka sungguh mahal harganya suara pemilih dalam pelaksanaan pemilihan umum kita yang menggunakan sistem proporsional terbuka dengan rumus bahwa pemenangnya adalah pasangan calon siapa yang memperoleh suara terbanyak. 


Hal inilah yang kemudian terjadinya praktik jual-beli suara antara dirinya dengan pemilik suara dalam pemilihan umum dengan harga satu orang pemilih bervariasi harganya sesuai dengan kemampuan keuangan yang dimiliki oleh yang bersangkutan, yang kemudian hasilnya ada yang memuaskan dan ada yang tidak memuaskan. Maka suka atau tidak suka yang namanya ikut dalam pemilu itu pasti mengeluarkan fulus untuk pembiyaan yang berhubungan dengan biaya konsolidasi, biaya cetak baliho, kartu nama, biaya tim sukses, biaya honor saksi dan segala macam pembiayaan agar pada akhirnya dia memperoleh suara terbanyak untuk mendapatkan satu kursi sebagai anggota legislatif dan atau sebagai pasangan calon. Dengan demikian, bahwa memang setiap orang yang memenuhi syarat untuk berkehendak akan menjadi wakil rakyat dan apalagi berkehendak menjadi pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden RI tahun 2024 membutuhkan modal kapital yang sangat banyak karena memang bahwa harga suara dalam pemilu sangat mahal harganya. Maka kedepan negara harus memikirkan konsep demokrasi dinegara ini yang murah harganya tetapi hasilnya adalah orang-orang yang terpilih memang benar-benar berkualitas bukan tergantung berapa banyak isi tasnya dan jumlah saldonya yang sangat gemuk dalam rekening banknya. Semoga tulisan ini bermanfaat. Wallahu ‘alam Bishshawab.

Share:
Komentar

Berita Terkini