Oleh: Fahrul Abd. Muid
(Penulis Adalah Dosen Pada IAIN Ternate-Maluku Utara)
Adalah Yerussalem, orang Yahudi menyebutnya Yerushlayim, artinya kota perdamaian, sementara orang Arab menyebutnya Al-Quds, artinya kota yang suci. Tapi jika disimak, mungkin nuansa kekudusan (kesucian) masih bisa tertangkap oleh kita karena sesuai dengan makna semantiknya, tapi soal arti damai, rasanya nama itu terlalu berat harus dipikul oleh kota ini. Mengherankan memang, di mana pun, suasana kudus (suci) akan identik dengan hawa damai, namun Yerussalem mengajarkan makna lain yaitu kota perdamaian yang sarat dengan permusuhan didalamnya. Kekhusyukan, ketaatan, dan kesalehan masing-masing penganut agama monoteistik (Islam, Kristen dan Yahudi) di kota yang berumur dari 2000 tahun ini, tak berhubungan langsung dalam interaksi keseharian penganut agama ini, kecuali suasana yang sangat beku dan sama sekali tidak mencair hubungan kemanusiaan mereka karena saling mengklaim tentang hak kepemilikan tanah air Yerussalem.
Muslim Yerussalem yang tinggal di kota ini setiap hari mendengar suara azan yang dikomendangkan oleh muazin yang meneriakkan Allahu Akbar serta Asshalatu Khairum min al-Nawm (shalat lebih baik dari tidur) dari menara Mesjid Al-Aqsha, suara muazin itu ternyata seakan menjadi pertanda, kegiatan telah dimulai di kota ‘perdamaian’ ini. Maka terlihat orang-orang Muslim Yerussalem secara berbondong-bondong mengikuti lorong-lorong kota itu yang sempit tetapi memiliki banyak sekali persimpangan itu, mereka berjalan yang hendak sholat menuju Mesjid Al-Aqsha. Sebagian menggunakan Kofiyah ala Yasser Arafat, sebagian menggunakan pakaian biasa, dan ada juga menggunakan Kopiah putih yang dibungkus sorban, yang menunjukkan bahwa ia adalah seorang Syeikh (imam), kesemuanya bergerak cepat untuk melaksanakan sholat subuh secara berjama’ah di Mesjid Al-Aqsha. Pada saat yang sama, sekelompok orang Yahudi Ortodoks Yerussalem, dengan ciri khas yang berbeda menggunakan topi bercaping lebar yang hitam, baju panjang hitam, celana hitam dan berjenggot panjang semuanya serba hitam, juga berjalan cepat tapi hampir tanpa suara (bilaa shawtin) menuju ke arah Gedung Herod (tempat ibadah orang Yahudi) yang bersebelahan dengan Mesjid Al-Aqsha.
Di persimpangan jalan, rombongan orang Yahudi Ortodoks ini berpapasan dengan orang Arab Muslim yang bersorban putih dan memegang biji tasbih. Sesaat, kedua rombongan ini saling menukar pandang tapi tanpa perubahan wajah yang cair atau saling menukar senyuman, sehingga tak ada yang mengetahui secara khusus jumlahnya, sudah berapa kali mereka saling berpapasan dan menukar pandangan tanpa adanya ekspresi wajah yang menunjukkan hubungan yang damai dan harmonis. Juga tidak ada yang mengetahui apa yang terkandung dalam hati masing-masing mereka. Tetap saja kedua rombongan ini terus bergerak tanpa suara (bilaa shawtin), dan tiba-tiba menghilang ke arah tujuannya masing-masing. Orang Yahudi Ortodoks masuk ke Blok Herod (tempat ibadah) mereka, sedangkan orang Arab Muslim ke arah jurusan komplek Mesjid Al-Aqsha. Justru yang tampak adalah kebekuan yang memendam bara bibit permusuhan, maka sampai kapan pun orang Yahudi (Israel) tidak akan mengakui eksistensi negara Palestina.
Ketika matahari mulai menyingsing, terlihat sepuluh pendeta Fransiscus, yang diikuti oleh pendeta gereja Armenia yang juga memakai jubah lebar berwarna hitam, dan bercambang lebat muncul dari dua van besar yang berbeda dan masuk melalui pintu gerbang Damaskus. Mereka bergerak dengan tenang tanpa sedikit pun terpengaruh oleh hiruk pikuk pasar pagi yang mulai hidup dan ramai. Mereka kemudian menghilang seperti bangsa Jin menuju ke sektor Kristen dan Kristen Armenia. Maka antara Syeikh, Rabai, dan Pendeta-Pendeta tersebut (Islam, Kristen dan Yahudi) mungkin sudah saling berpapasan puluhan kali di persimpangan jalan itu, tapi mereka bergerak sendiri dan di situ seperti tidak ada urusan antara satu dengan pihak lainnya. Padahal mereka hidup di kota yang satu Yerussalem dalam keadaan berdampingan tetapi tidak saling bertegur-sapa satu sama lain hanya karena masing-masing mereka berbeda keyakinan bahwa hak kepemilikan tanah air Yerussalem yang bagi orang Arab Muslim adalah tanah airnya, orang Kristen Yerussalem juga mengklaim adalah tanah airnya, dan lebih-lebih bagi orang Yahudi Ortodoks Yerussalem berkeyakinan penuh bahwa tanah airnya adalah Yerussalem.
Maka tanah air Yerussalem dengan sejarahnya yang diwarnai dengan konflik yang tak berkesudahan adalah tempat suci dari tiga agama Monoteis yang berakar pada tradisi Nabi Ibrahim AS (Yahudi, Kristen dan Islam). Di antara penganut Yahudi muncul prasangka-prasangka terhadap ajaran Islam dan Kristen yang seringkali memunculkan benturan nilai dan pemikiran. Sebagian dari orang Yahudi ada yang menolak tegas ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw karena orang Yahudi menganggap Nabi Muhammad Saw bukanlah seorang Nabi yang menerima wahyu dari Tuhan. Nabi Muhammad Saw menurut orang Yahudi tak lain hanyalah orang biasa yang memiliki pengetahuan dan ajaran-ajaran moral yang diperoleh melalui interaksinya dengan kalangan rohaniawan. Bukan seperti Nabi Musa AS yang memperoleh wahyu dari Tuhan. Sementara terhadap Kristen, kalangan Yahudi berpendapat ajarannya sangat dekat dengan keyakinan Yahudi, utamanya mengenai kehadiran juru selamat (Messianic). Namun setelah jumlah pengikut Yesus terus bertambah, kemudian secara tiba-tiba Yesus mendeklarasikan dirinya sebagai seorang Nabi, Raja serta Juru selamat. Sikap Yesus ini oleh Kekaisaran Romawi bertentangan dengan keyakinan orang Yahudi. Bersama pengikutnya Yesus dianggap sebagai kaum pemberontak, yang akhirnya membuat Yesus harus di salib di tiang gantungan.
Disinilah, kalangan orang Yahudi mengklaim dirinya bahwa merekalah satu-satunya bangsa pewaris tunggal yang sah atas ajaran agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim AS (Abraham). Keistimewaan ini menurut mereka sudah melekat, dan tidak bisa begitu saja dipindahkan dengan kehadiran tokoh pembaharu yang dianggap Nabi yang hadir kemudian, seperti Yesus dan Nabi Muhammad Saw, kendati pun keduanya membawa ajaran yang sama yaitu Monoteisme. Maka menurut keyakinan orang Yahudi, “Tuhan” melalui Nabi Ibrahim AS, telah menganugerahkan kehormatan kepada anak-anak Israel bahwa mereka sebagai bangsa terpilih, yang secara eksklusif berhak mewarisi tanah Palestina (Yerussalem). Dengan kenyataan ini, maka seharusnya orang Arab Muslim Yerussalem tidak menentang kehadiran orang Yahudi ditanah airnya sendiri.
Karena klaim orang Yahudi seperti itu, maka orang Arab, baik orang Islam dan orang Kristen Yerussalem melihat sikap Tuhan seperti yang ditafsirkan orang Israel sebagai zat yang lucu sekali, setengah berseloroh, mereka berpendapat, ternyata Tuhan orang Yahudi selain sangat Rasis juga tidak pernah mengadakan perjalanan, maka sekiranya Tuhan orang Yahudi mengadakan perjalanan di atas dunia ini, tentu Tuhan mereka akan mengetahui bahwa di dunia ini banyak terdapat suku bangsa lain dan bukan hanya ada orang Yahudi saja yang mendiami alam dunia ini. Ternyata orang Yahudi juga menganggap orang Kristen tidak memiliki hak untuk mengatakan tanah Yerussalem sebagai tanah airnya.
Realitas ini memberi gambaran kepada kita, betapa lebarnya dan saling ketidakpengakuan antara para penganut agama-agama itu dan bagaimana kemudian terjadi pertikaian politik, setelah berdirinya negara Israel, memperoleh pengabsahan agama yang semakin memperuncing hubungan di antara mereka. Masing-masing penganut agama-agama tersebut di area konflik ini berupaya keras menyakinkan pihak lain akan kebenaran posisinya dan pada saat bersamaan berupaya mati-matian menolak keyakinan dan posisi pihak lain jika ada yang mengajukan alasan agama atas kehadiran mereka di tanah Palestina itu. Orang Yahudi dan orang Arab Palestina, yang sebenarnya banyak di antara mereka berhubungan sehari-hari, saling memandang pihak lain dari sudut yang harus berbeda. Demikian parahnya rasa benci di antara mereka, sehingga jika ada sedikit persamaan di antara mereka, maka itu pun harus dianggap sebagai suatu perbedaan. Allah Swt tidak membinasakan bangsa Israel, agar umat Islam berjihad di jalan Allah Swt dengan segala kemampuan untuk melawan kedhaliman mereka, lalu kemudian mati syahid maka ia tergolong syuhada’ dihadapan Allah Swt.
Dengan demikian, walaupun antara orang Israel dan orang Arab mereka saling bermusuhan akan tetapi terdapat budaya kerjasama yang harmonis di antara mereka dalam hal melakukan kejahatan, terbangun harmonisasi di antara penjahat Arab dan penjahat Yahudi karena sama-sama dipenjara, yang setelah saling kenal didalam penjara kemudian mereka membahas rencana kejahatan jangka panjang setelah mereka keluar dari penjara, bentuk kerjasamanya adalah nanti Yahudi yang mencuri, lalu Arab yang mengamankannya. Maka ternyata kejahatan itu tidak mengenal tapal batas politik dan perbedaan pandangan politik, bahkan dapat mengalahkan keyakinan agama masing-masing mereka. Semoga bermanfaat tulisan ini. Wallahu ‘Alam Bishshawab.