Oleh: Amirudin Ahmad
Dipastikan peta politik akan berubah. Seperti apa respon Sekutu Ibu Suri usai dapat voucher amnesti untuk Putra Mahkota dari sang Raja Sagala? Mari kita Ulas sambil menghirup kopi tanpa gula,!
Sang Raja Sagala memberi amnesti kepada Putra Mahkota. Dalam daftar resmi yang disahkan Penasehat Istana Negeri Sangsara, nama dari Putra Mahkota masuk di antara 1.116 orang yang dinyatakan bebas dari lilitan pasal. Sontak, atmosfer politik berubah. Tapi itu hanya bunga pembuka. Yang membuat Bumi di Negeri Sangsara mendadak seperti panggung Yunani klasik adalah kalimat-kalimat Ibu Suri di Istana Awan Balulang, dalam Pelatihan Panah Sekutu Ibu Suri. Ia tak sedang bercanda. Ia tak sedang retoris. Ia sedang mengatur arah angin.
Instruksi Ibu Suri tidak sekadar seruan. Itu naskah baru yang langsung dipentaskan. Katanya, Sekutu Ibu Suri akan mendukung pemerintahan di bawah kekuasaan Sang Raja Sagala di negeri sangsara. Tapi, tunggu dulu. Ini bukan bentuk kepatuhan buta. Ini semacam kepatuhan bermata elang, tajam, waspada, dan penuh perhitungan. Jika kamu kira ini sekadar salam dengan simbol Metal yang berubah jadi empat jari, kita belum mengerti cara kerja kekuasaan di tanah ini.
“Dukung, tapi jangan tunduk. Jaga pemerintahan di negeri bumi Sangsara, tapi jangan diam.” Kira-kira seperti itulah tafsir dari arah perkataan Ibu Suri dan Sekutunya ini, yang dulu sempat digambarkan sebagai oposisi paling garang, kini memilih menjadi penjaga rel. Rel apa ya? Rel kekuasaan, rel fiskal, rel utang luar negeri, dan rel geopolitik yang jalurnya tak pernah lurus.
Sekutu Ibu Suri tahu bahwa defisit anggaran menunggu di ujung tahun. Mereka tahu pemasukan Di negara bumi sangsara seperti ember bocor di tengah hujan utang. Mereka juga tahu dolar tak bisa dilawan dengan slogan. Maka, mereka tidak hanya ingin berdiri di luar ring sambil mengacungkan jari. Mereka ingin masuk gelanggang, bukan sebagai petarung, tapi sebagai pengarah dan penasehat strategi. Tak harus masuk kabinet. Tapi cukup berada di meja makan, bukan jadi buruh cuci piring.
Ibu Suri menginstruksikan, kepada seluruh sekutunya turun ke bawah. Dengarkan rakyat. Tapi jangan sekadar mendengar seperti suara gendang di acara ronggeng. Dengarkan dengan analisa, tafsir, dan sensitivitas politik. Karena suara rakyat bukan sekadar desahan penderitaan, maupun desahan desahan suara erotis pasturi pengantin baru di malam pertama tapi juga kode untuk arah perubahan.
Salah Satu Tangan Kanannya menegaskan, Sekutu Ibu Suri akan menjaga agar pemerintahan tetap berada “di jalur yang benar”. Tapi di negeri Sangsara ini, kata “benar” selalu bisa dinegosiasi dan bersifat diplomasi. Maka, Sekutu Ibu Suri tidak hanya sekadar menjaga. Mereka sedang menandai jalur baru. Mereka ingin jadi kompas dan penunjuk GPS, bukan hanya sekedar peta buta.
Amnesti terhadap putra mahkota adalah pintu. Tapi bukan juga pintu rumah tahanan, melainkan pintu masuk menuju ke rekonsiliasi. Ibu Suri sudah mengambil langkah pertama, bukan dengan pelukan, tapi dengan kalimat, bagaikan sebuah senjata politik yang lebih tajam dari penggunaan hak veto.
Bayangkan, saja! Dalam satu minggu, Putra Mahkota diberi amnesti, dan anak angkat mendapatkan Abolisi dibebaskan dari jerat impor gula, dan Ibu Suri memberi restu untuk mendukung Kekuasaan Sang Raja. Semua ini bukan kebetulan. Inilah simponi kekuasaan.
Di tengah simponi itu, Sekutu ibu suri tampil bukan sebagai pemain gala maupun penari, tapi sebagai dalang yang memainkan wayang dalam bayang-bayang. Mereka tidak tampil di panggung kabinet dibawah kekuasaan sang raja, tapi mereka akan memimpin irama dari balik layar, secara Diam-diam, dengan ketegasan kapas semerbak pembalut.
Jangan kaget bila sebentar lagi bendera sekutu ibu suri tidak hanya berkibar di luar pagar istana. Tapi juga mulai dijahitkan ke dalam selimut kekuasaan baru di kepemimpinan raja sagala, selimut merah yang tak membakar, tapi menghangatkan kursi kekuasaan Sang Raja.
Di Negeri Sangsara sedang menyaksikan babak baru. Ibu Suri baru saja membuka tirainya. Amnesti terhadap salah satu anak emas putra mahkota dari seorang Ibu Suri bukan sekadar keputusan hukum, tapi penanda, musim baru telah tiba. Sekutu Ibu Suri yang dulu berdiri di luar pagar kini memegang kunci garasi istana di negeri sangsara. Bukan untuk pindah rumah, tapi untuk “mengatur parkiran”.
Raja Sagala, sang aktor utama, yang sedang menulis naskah besar. Tentunya Ia tahu, untuk apa dan pada siapa ia membuat pertunjukan politik yang utuh, tentunya dibutuhkan pemain antagonis yang bisa berubah menjadi protagonis cukup dalam dua episode saja.