Prabowo Didesak Cabut Izin Tambang Smart Marsindo di Pulau Gebe

Editor: alafanews.com author photo
Pulau Gebe (Foto: Jatam)

TERNATE - Aktivis PMII Cabang Ternate mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera mencabut izin usaha pertambangan (IUP) PT. Smart Marsindo di Pulau Gebe, Kabupaten Hamahera Tengah. Pencabutan izin tambang nikel itu dinilai sangat perluh karena telah beroperasi tanpa memenuhi status Clear and Clean (CnC) yang menjadi syarat sahnya operasi pertambangan mineral dan batubara di Indonesia.

Perusahaan yang memproses bijih nikel kadar rendah (limonit) untuk kebutuhan bahan baku baterai kendaraan listrik ini diduga kuat tidak menyampaikan rencana reklamasi atau rencana pascatambang. Parahnya lagi, dalam proses penerbitan IUP PT. Smart Marsindo juga diduga tidak melalui mekanisme lelang sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba).

"Komitmen Pak Prabowo untuk membasmi tambang-tambang ilegal kami sangat apresiasi. Kami mendesak Presiden untuk mencabut IUP Smart Marsindo di Pulau Gebe, karena ini cacat perizinan," ujar Aktivis PMII Ternate, Andika Ano, Rabu (20/8/25).

Dia menegaskan Jaminan Reklamasi adalah kewajiban perusahan pemegang IUP yang harus dienuhi, sebagaimana telah diperingatkan oleh Direktorat Jenderal Minerba melalui Surat Nomor B-727/MB.07/DJB.T/2025. Ini bukan sekadar soal administratif, melainkan merupakan pelanggaran serius yang mengandung konsekuensi pidana lingkungan. Ketidakpatuhan terhadap reklamasi memperlihatkan bagaimana perusahaan tambang seringkali hanya mengambil keuntungan, tetapi mengabaikan kewajiban memulihkan kerusakan ekologi yang ditimbulkannya.

Dalam perspektif hukum pidana lingkungan, kelalaian tersebut dapat dipandang sebagai delik omisi yaitu tindak pidana karena tidak melakukan kewajiban hukum. Andika menilai, pemerintah harus berani menggunakan instrumen hukum pidana ini untuk menjerat korporasi yang abai.

 “Kerusakan ekologi di Pulau Gebe bukan sekadar masalah lingkungan, melainkan kejahatan terhadap generasi mendatang,” tegasnya.

Akademisi Universitas Khairun (Unkhair) Ternate, Muamil Sunan, mengatakan bahwa izin usaha pertambangan untuk mineral logam dan batubara, wajib melalui mekanisme lelang. Kecuali untuk mineral bukan logam dan batuan.

“Ini adalah pelanggaran serius. Bila penerbitan IUP dilakukan tanpa pelelangan, maka itu cacat prosedur dan berpotensi dibatalkan secara hukum,” kata Muaimil ketika dikonfirmasi belum lama ini. 

Menurut Muaimil, ketidaksesuaian administrasi, teknis, dan finansial pada PT. Smart Marsindo merupakan bukti bahwa perusahaan tidak layak melanjutkan aktivitas pertambangan sebelum melengkapi seluruh persyaratan perundang-undangan.

“Tambang non-CnC bukan hanya persoalan legalitas, tapi juga mengancam keselamatan kerja dan lingkungan. Mereka tidak punya jaminan reklamasi, tidak ada audit lingkungan, dan itu sangat berbahaya,” ujarnya.

Persoalan lain yang lebih mendasar, lanjut Muaimil, adalah bahwa perusahaan tidak menyediakan jaminan reklamasi yang menjadi syarat mutlak untuk mendapatkan dan menjalankan IUP Operasi Produksi. 

“Jika itu diabaikan, maka secara hukum pemerintah bisa mencabut atau memblokir izin operasinya,” tegasnya.

Saatnya Negara Tegas

Salahuddin Lessy, Pemerhati Pertambangan dan Lingkungan menyampaikan apresiasinya terhadap Komitmen Presiden RI Prabowo Subianto untuk menindak tegas pelaku tambang ilegal.

Dalam pidato kenegaraan di Sidang Tahunan MPR RI, Jumat (15/8/25), Presiden Prabowo menegaskan tidak akan memberi perlindungan kepada siapa pun yang terlibat dalam tambang ilegal, bahkan jika pelaku berasal dari partai atau koalisinya sendiri.

“Saya telah diberi laporan oleh aparat-aparat bahwa terdapat 1.063 tambang ilegal. Dan potensi kekayaan yang dihasilkan oleh 1.063 tambang ilegal ini dilaporkan minimal Rp300 triliun,” ungkap Prabowo.

Menurut Salahudin, dugaan praktik penambangan ilegal di Pulau Gebe, Kabupaten Halmahera Tengah telah melanggar hukum dan harus diusut tuntas hingga ke akar-akarnya.

"Kita memiliki perangkat hukum yang jelas. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo. UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara eksplisit melarang kegiatan yang mengancam keberlanjutan ekosistem pulau kecil," kata dia.

Putusan Mahkamah Konstitusi juga memperkuat bahwa kepentingan publik dan kelestarian lingkungan harus menjadi pertimbangan utama dalam tata kelola sumber daya di wilayah pesisir. Dengan kata lain, kerangka hukum nasional menegaskan bahwa Pulau Gebe dengan luas yang terbatas, ekosistem rapuh, dan populasi masyarakat lokal yang bergantung pada laut adalah wilayah yang tidak boleh dijadikan ladang eksploitasi tambang.

"Pulau Gebe tidak bisa menunggu. Dampak kerusakan akibat tambang di pulau kecil bersifat permanen. Kerusakan hutan, sedimentasi pesisir, hilangnya sumber air tawar, serta degradasi terumbu karang adalah ancaman eksistensial. Lebih jauh, masyarakat lokal berisiko kehilangan ruang hidup dan identitas kulturalnya," tambahnya. (*)























Share:
Komentar

Berita Terkini