Oleh Salahuddin Lessy
(Almahera Climate Action)
Di balik gempita hilirisasi nikel dan investasi besar-besaran di Pulau Kecil, Maluku Utara, tersembunyi jejak digital yang mengarah pada praktik terselubung dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Analisis mendalam terhadap struktur kepemilikan saham mengungkap anomali yang sistematis dan terstruktur, menunjukkan upaya sengaja menyamarkan pemilik manfaat sesungguhnya (Ultimate Beneficial Owner/UBO) dan mengalirkan dana ilegal melalui celah regulasi.
Seorang karyawan dengan gaji pas-pasan tiba-tiba tercatat sebagai pemegang saham mayoritas perusahaan tambang bernilai triliunan rupiah. Sebuah perusahaan di Singapore, yang tak memiliki kantor fisik, justru menjadi penanam modal utama untuk pembangunan smelter. Seorang mantan pejabat daerah, meski secara resmi telah pensiun dari dunia bisnis, namanya muncul dalam jejak kepemilikan yang rumit di belakang layar. Ini bukan plot film thriller, tetapi fragmen-fragmen temuan dari pelacakan kepemilikan saham di sektor pertambangan nikel Pulau Kecil dalam dekade terakhir.
Anomali pertama dan paling mencolok adalah penggunaan “orang suruhan” atau nominee. Dalam puluhan kasus, nama-nama seperti Sari, seorang ibu rumah tangga, atau Budi, seorang sopir pribadi, tercatat sebagai pemegang saham dengan porsi mencapai 60%. Logika bisnis biasa sulit menerima bagaimana individu dengan kapasitas finansial terbatas dapat menguasai perusahaan sebesar itu. Investigasi lebih jauh mengungkap aliran dana rutin dari rekening figure tertentu yang diduga sebagai pemilik sebenarnya ke rekening para nominee ini, terutama menjelang pembayaran dividen.
Pola kedua adalah kepemilikan berlapis melalui yurisdiksi offshore. Perusahaan-perusahaan seperti "Lautan Jaya Ltd." yang terdaftar di British Virgin Islands (BVI) atau "Bintang Timur Pte. Ltd." dari Singapore kerap muncul dalam rantai kepemilikan. Strukturnya sengaja dibuat rumit: PT A di Indonesia dimiliki oleh Perusahaan B di Singapore, yang sahamnya dipegang oleh Trust C di BVI. Lapisan ini bukan hanya untuk optimalisasi pajak, tetapi utamanya untuk mengaburkan jejak dan menyembunyikan identitas UBO. Transaksi antara perusahaan dalam jaringan ini, seperti pembelian alat berat dengan harga yang digelembungkan (over-invoicing), menjadi modus favorit untuk pencucian uang.
Anomali ketiga adalah perubahan kepemilikan yang mencurigakan. Tercatat beberapa kali terjadi transfer saham secara mendadak tepat beberapa hari sebelum pembayaran dividen tahunan. Saham kemudian dikembalikan setelah dividen cair. Praktik ini mengindikasikan upaya menghindari pencatatan kepemilikan saat pembagian keuntungan berlangsung, sehingga nama sang pemilik sesungguhnya tidak muncul dalam laporan resmi.
Yang tak kalah mengkhawatirkan, keterkaitan dengan Pejabat Publik juga tercium. Seorang tokoh yang pernah menjabat di pemerintahan daerah setempat, sebut saja Andi, teridentifikasi sebagai pihak yang diuntungkan dalam skema ini. Meski namanya tidak tercatat langsung sebagai pemegang saham, jejak digital dan aliran dana mengarah pada keluarganya dan perusahaan-perusahaan yang dikendalikannya. Implikasinya sangat serius: potensi konflik kepentingan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Lantas, apa dampaknya? Pertama, negara dirugikan secara finansial melalui penggelapan pajak, royalti yang tidak dibayar sesuai produksi sebenarnya, dan korupsi. Kedua, praktik ini mencemari iklim investasi yang sehat dan merugikan pelaku usaha yang jujur. Ketiga, dana yang dicuci dapat digunakan untuk membiayai aktivitas ilegal lainnya, menggerogoti stabilitas ekonomi dan keamanan nasional.
Lalu, bagaimana menutup celah ini? Langkah utamanya adalah penguatan prinsip Know Your Beneficial Owner (KYBO). Notaris dan lembaga custodian bank harus melakukan due diligence yang lebih ketat dan tidak sekadar menerima dokumen administratif. Pelarangan saham atas nama (bearer shares) mutlak diperlukan. Integrasi data antara kementerian/lembaga (ESDM, Dirjen Pajak, Bea Cukai, OJK, dan PPATK) dalam platform tunggal juga krusial untuk memotong lintasan dana ilegal.
Pada akhirnya, membongkar dugaan praktik TPPU di sektor tambang bukan hanya soal mengejar kerugian materiil. Ini adalah tentang menegakkan kedaulatan hukum, menjaga kesejahteraan masyarakat, dan memastikan kekayaan alam Indonesia dinikmati oleh rakyatnya, bukan oleh segelintir orang yang bermain di balik layar dengan struktur kepemilikan yang gelap.
*Nama dan entitas bisnis sengaja disamarkan