![]() |
Salah satu kawasan izin tambang yang terdapat di Pulau Gebe Halmahera Tengah |
Ternate - Pemuda Pancasila (PP) Maluku Utara mengungkap ada pencemaran lingkungan akibat aktivitas pertambangan nikel di Pulau Gebe, Halmahera Tengah, Maluku Utara. Menurut perhitungan Ormas Pemuda Pancasila, angkanya bisa mencapai Rp7 triliun.
Kerugian ini mencakup kerusakan ekologis dan sosial yang ditimbulkan seperti kerusakan terumbu karang, hilangnya mata pencaharian nelayan, gangguan kesehatan masyarakat, serta dampak negatif terhadap pariwisata dan ekonomi lokal.
"Angka Rp 7 Triliun bukanlah angka yang dikarang-karang. Tim hukum PP, yang dibantu oleh tenaga ahli, menghitung sesuai dengan temuan lapangan," ujar Rafiq Kailul kepada Alafanews, Jum'at (10/10).
Rafiq memaparkan rincian perhitungannya yang mencakup:
Pemulihan Lingkungan: Biaya revegetasi, rehabilitasi daerah aliran sungai, dan pembangunan infrastruktur pengendali limbah yang memadai. Diperkirakan menelan biaya hingga Rp 1,8 Triliun.
●Kerugian Ekosistem: Nilai ekonomis dari kerusakan terumbu karang yang merupakan penopang kehidupan nelayan. Kehilangan jasa ekosistem ini diperkirakan bernilai Rp 4,2 Triliun dalam jangka panjang.
●Kerugian Sosial-Ekonomi: Ganti rugi kepada masyarakat akibat penurunan kualitas air, hilangnya mata pencaharian, dan dampak kesehatan. Diperkirakan mencapai Rp 650 Miliar.
●Denda Administratif: Sanksi yang dihitung berdasarkan parameter pelanggaran yang terjadi.
“7 triliun ini adalah harga untuk mengembalikan Pulau Gebe seperti sedia kala, jika itu masih mungkin. Ini adalah pesan tegas bahwa kerusakan lingkungan memiliki konsekuensi finansial yang sangat besar,” jelas Rafiq, yang juga staf ahli DPD RI.
![]() |
Fenomena perubahan air laut di kawasan pesisir Pulau Gebe |
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-XXI/2023 kemudian memperkuat kebijakan pelarangan aktivitas tambang di wilayah pesisir dan pulau kecil.
"Olehnya, pemerintah juga dapat melihat aspek keberlanjutan dari mata pencaharian penduduk lokal di kawasan pulau ini. Terlebih, ini adalah pulau kecil yang mestinya dilindungi," tutur Rafiq.
Pulau yang dikenal sebagai wilayah dengan keanekaragaman hayati tinggi, termasuk terumbu karang, hutan tropis, dan satwa endemik seperti kuskus, kini telah dibabat habis oleh para mafia tambang.
Pemuda Pancasila juga menegaskan pencemaran dan kerusakan lingkungan akan sulit dipulihkan, bahkan spesies-spesies tidak akan lagi menjadikan pulau Gebe rumah mereka jika alat berat berupa buldoser terus bergerak dan menjangkau lahan sesuai rencana.
Oleh karena itu, Rafiq merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk mencabut IUP tujuh perusahaan yang berbasis di kawasan pulau Gebe.
"Tingkat pencemaran sudah nampak oleh mata. Pemerintah harus segera mencabut izin-izin ini. Negara tidak boleh kala dengan investasi, negara harus berdiri di atas kepentingan rakyat," tegasnya.
Berdasarkan penelusuran Alafanews, terungkap satu kenyataan pahit: Enam dari tujuh pemegang IUP di pulau Gebe diduga terbit secara ilegal. Izin-izin ini tidak masuk kategori Clean and Clear (CnC), bahkan tidak melewati mekanisme lelang wilayah pertambangan sebagaimana diwajibkan Pasal 51 dan 60 UU No. 3 tahun 2020 Jo UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.
“Secara hukum, izin-izin ini cacat sejak lahir, maka itu sudah termasuk pelanggaran dan masuk kategori tambang ilegal atau illegal mining," kata Dr. Hendra Karianga, Dosen Fakultas Hukum Unkhair Ternate.
Hendra bilang, tambang non-CnC sangat merugikan negara karena tidak terkontrol, menyebabkan hilangnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), serta memicu kerusakan lingkungan tanpa adanya kewajiban reklamasi yang diselesaikan.
Selain kerugian finansial dan lingkungan, praktik ini juga membuka celah bagi perusahaan untuk tidak melaporkan produksinya dan menghindari kewajiban legal mereka.
"Ini saatnya lembaga penegak hukum turun tangan. Apalagi Presiden Prabowo dalam pidatonya sudah menegaskan soal pentingnya penegakan hukum di sektor pertambangan," ujar Hendra. (*)